Rabu, 01 September 2010

MALU KEPADA ALLAH TANDA KESEMPURNAAN IMAN

MALU KEPADA ALLAH ADALAH TANDA KESEMPURNAAN IMAN
Oleh Muhamad Subhan, S.Pd., M.Pd.

Sikap malu adalah tanda kesempurnaan iman sesorang. Malu yang dimaksudkan di sini adalah malu kepada Allah bukan malu kepada sesama. Malu kepada sesama adalah hal yang lumrah dan biasa serta setiap orang memiliki sikap ini. Berpakaian buruk dan lusuh malu dilihat orang, mengendarai sepeda butut malu kepada tetangga, rumah buruk malu kepada teman, sepeda motor ketinggalan zaman malu kepada rekan kerja, dan masih banyak lagi rasa malu yang ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Rasa malu seperti itulah yang berimplikasi pada sikap rakus, sombong, dan menghalalkan segala cara untuk dapat menyamai yang lain agar TIDAK MALU.


Malu yang merupakan indikator kesempurnaan iman adalah malu kepada Allah dan juga malu kepada sesama. Malu kepada sesama bukan karena pakaian yang buruk atau lusuh atau karena rumah yang buruk serta bukan karena kendaraan yang butut atau ketinggalan zaman, tetapi malu dengan memejamkan mata dari segala hal yang tidak halal. Sedangkan malu kepada Allah dengan menyadari sesadar-sadarnya akan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada dirinya kemudian malu untuk berbuat maksiat atau malu tidak menjalankan perintah-Nya atau malu menjalankan larangan-larangan-Nya. Malu yang seperti inilah yang merupakan tanda kesempurnaan iman.

Alangkah dhoifnya diri kita, Allah telah mengaruniakan nikmat yang tak mampu kita menghitungnya (mata yang bisa berkedip, lidah yang mampu merasakan aneka rasa, mata yang mampu melihat aneka warna, hidung yang mampu menghisap udara segar (O2) dan mengeluarkan udara beracun (CO2), dan lain-lain) namun kita tidak mau tahu akan hal itu sehingga kita masih kerap melakukan hal-hal yang dilarang-Nya. Sikap seperti inilah yang disebut TIDAK PUNYA MALU. Ibarat seorang bos atau direktur yang telah memberikan berbagai fasilitas dan kedudukan yang mapan kepada anak buahnya, namun anak buahnya tidak pernah berterima kasih bahkan selalu melanggar aturan main direkturnya serta masih sering menghina dan mngumpat direkturnya, anak buah seperti itu yang disebut dengan anak buah tak tahu diri dan tak tahu malu. Apakah yang terjadiu selanjutnya jika hal tersebut dilakukan secara terus menerus oleh anak buahnya? Pastilah direktur itu akan murka dan akan mencabut seluruh fasilitas yang telah diberikannya juga akan menurunkan pangkat dan kedudukannya, bahkan bisa jadi akan dipecat menjadi anak buahnya. (Bagaimanakah jika Allah telah murka pada hamba-Nya?)

Bagaimanakah hakikat malu kepada Allah itu? Marilah kita renungkan sabda Rasulullah SAW. Yang artinya:
Malulah kamu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya. Para sahabat berkata, ‘Kami sudah malu kepada Allah dan segala puji bagi Allaj.’ Beliau bersabda, ‘Bukan begitu, akan tetapi barang siapa malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan anggota tubuh yang berada di kepala (yaitu mata, hidung, telinga, dan mulut), perut, dan yang berada di rongga dada, dan hendaklah ia ingat mati dan kerusakan. Dan barang siapa yang menginginkan akhirat, maka ia harus meninggalkan kesenangan kehidupan dunia. Maka barang siapa yang telah mengerjakan yang demikian itu, niscaya ia telah benar-benar malu kepada Allah.’’’

Itulah hakikat malu yang harus menjadi bagian dari sikap kita sehari-hari. Apa pun dan menjadi apa pun diri kita harus tertanam rasa malu yang sebenarnya. Apabila rasa malu kepada Allah yang sebenarnya itu tertanam pada jiwa kita bahkan menjadi kepribadian kita maka selamatlah kita di dunia maupun di akhirat. Ketika menjadi pejabat tidak akan mungkin tergiur untuk korupsi karena malu pada Illahi. Ketika diri kita menbjadi pegawai pasti kita akan menunaikan tugas dengan penuh pengabdiuan dan kesadaran diri. (bukan yang lazim terjadi sekarang ini, para pegawai aktif dan rajin jika ada pemimpin, jika tidak ada, semau gue. Malunya hanya karena pemimpin bukan karena malu kepada Allah).

Sebenarnya, buah dari rasa malu sangat indah. Tidak hanya kita dapatkan buah itu di akhirat, tetapi di dunia juga telah dijamin manisnya buah rasa malu yang kita lakukan oleh ALLAH SWT. Hal tersebut telah disabdakan oleh rosulullah dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal yang artinya:
“Allah berfirman: “Wahai anak cucu Adam, malulah kamu kepada-Ku ketika kamu berbuat maksiat. Aku juga malu kepadamu pada hari penggelaran fakta yang dahsyat (hari kiamat), sesungguhnya Aku akan menyiksamu. Wahai anak cucu Adam, bertobatlah kepada-Ku maka Aku akan memuliakanmu dengan kemuliaan para nabi. Wahai anak cucu Adam, bila kamu bertemu dengan-Ku pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebanyak penghuni bumi maka Aku tidak akan menerimanya darimu sampai kamu mau memberikan janji dan ancaman-Ku. Wahai anak cucu Adam. Aku zat yang memberi Rizki dan kamu tahu aku telah memenuhi rizkimu. Maka janganlah kamu tinggalkan ketaatan kepada-Ku karena rizkimu. Bila kamu meninggalkannya karena rizkimu, maka Aku menimpakan siksa-Ku untukmu.”

Rizki yang telah dianugerahkan kepada kita harus menjadikan diri kita malu kepada Allah. Kita telah dianugerahi kesehatan, kesempatan, kemapuan bekerja, keterampilan untuk mengais uang, kelelahan yang menjadikan kita dapat tidur dan beristirahat, ketenangan dalam bangunan rumah nan indah, kedamaian dalam keluarga, ketengan jiwa untuk mampu tersenyum dan tertawa, kendaraan yang menjadikan diri kita berkelililng di bumi-Nya, dan lain-lain. Seyogianya semua itu harus melahirkan ketaatan diri kita kepada-Nya. Bukan hanya kita manfaatkan untuk urusan-urusan keduniaan yang bersifat menipu dan melalaikan kita pada sang pemberi kenikmatan. Semoga kita selalu dibimbing oleh Allah menjadi orang yang memunyai rasa malu kepada-Nya. Amin.

Plososetro, 21 Ramadhan 1431 H/ 31 Agustus 2010
Nsihat Untuk Istriku tersayang (Khusnul Mar’ah)
Dan anakku (Pradipta Amanda A.S.)
Juga Saudara-saudaraku seiman dan seagama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar